Artikel: Candra Malik* Candra Malik Jika pertanyaannya adalah siapa yang paling banyak membantu manusia modern hari ini, maka Mbah G...
Artikel: Candra Malik*
Jika pertanyaannya adalah siapa yang paling banyak membantu manusia modern hari ini, maka Mbah Google harus dimasukkan dalam daftar urutan atas. Saya tidak bisa memasukkan nama saya sendiri meski saya merasa telah berbuat banyak untuk cukup banyak orang. Mulai dari mendengar keluh kesah mereka, hingga menemani dalam mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan seseorang.
Jika pertanyaannya adalah siapa yang paling tahu tentang banyak hal, lagi-lagi saya tidak bisa memasukkan nama saya sendiri. Padahal, saya merasa tidak pernah berhenti belajar, sering menantang siapa pun untuk bertanya tentang apa pun, suka berdiskusi dan sesekali memancing perdebatan, serta akhir-akhir ini mulai sering belanja buku untuk memenuhi rak-rak perpustakaan pribadi supaya saya kelihatan pintar.
Berat hati, memang, tapi terpaksa saya harus mengakui bahwa Mbah Google mengetahui lebih banyak hal daripada saya, bahkan kita, dan bahkan nyaris dalam segala hal. Tinggal sampaikan kata kunci, maka Mbah Google segera menyediakan banyak informasi. Soal jaringan internet, itu lain hal. Itu bukan salah Mbah Google. Kalau kadang tak bisa menjawab, layak diduga kitalah yang keliru memasukkan kata kunci.
Jika pertanyaannya adalah siapa yang tidak pernah menanyakan -- apalagi mempertanyakan -- siapa namamu dan apa agama serta keyakinanmu -- saya kok tetap tidak bisa memasukkan nama saya sendiri, ya? Mbah Google justru, sekali lagi, menunjukkan kebaikannya. Ia menyediakan arti nama-nama dalam berbagai versi bahasa dan bangsa. Soal berbagai agama dan keyakinan, Mbah Google memaparkan runut dan historis.
Jika pertanyaannya adalah mengapa ada saja yang mencibir orang atau sekelompok orang yang mengandalkan pertolongan Mbah Google, saya jadi malu hati. Sebab, saya juga salah satu di antaranya. Saya suka menganggap sebelah mata terhadap mereka yang cuma "mengaji" dari Mbah Google, lalu sok jago kitab, gemar berbantah dan berdebat, bahkan makin hari makin senang menghakimi kehidupan orang.
Padahal, dalam banyak hal, saya pun banyak bertanya dan "mengaji" pada Mbah Google. Privat, memang. Tidak ada yang tahu ketika saya sowan ke bilik Mbah Google. Portalnya saya buka perlahan supaya tidak ketahuan siapa-siapa. Tapi, sesungguhnya apa salahnya dekat dan akrab dengan Mbah Google? Apakah hanya karena ia mesin dan kita manusia? Tapi, dilihat dari sisi tiga kesalehan sosial di atas, bagaimana?
Dalam hal menjadi jembatan informasi, penyambung atas petunjuk dari mana pun, Mbah Google banyak membantu, menyediakan beragam dan banyak data dan informasi, dan tidak bertanya -- tidak pula mempertanyakan -- identitas penanya. Coba Sampeyan bertanya di depan forum, pasti langsung disergap dengan pertanyaan,"Nama dan dari mana?" Sudah begitu, belum tentu kita mendapat jawaban yang 'nyambung'.
Saya semula beranggapan bahwa para pembaca buku memiliki maqam yang lebih tinggi dari para pembaca informasi Mbah Google. Apalagi jika buku yang dibaca itu pun memiliki derajat yang lebih tinggi lagi, yaitu: kitab. Apalagi jika ditulis dalam aksara baca dan bahasa yang tak dimengerti masyarakat awam, kedudukan sosial pembaca dan buku-bukunya itu akan naik jauh lebih tinggi. Semula saya berpikir begitu. Semula.
Tapi, setelah menjajal diri saya sendiri, yang baru tiga pertanyaan saja saya langsung bertekuk lutut menghadapi Mbah Google, saya kok mulai berpikir untuk berpikir ulang tentang pikiran saya sendiri yang saya pikir perlu saya pikir-pikir lagi. Lebih syok lagi setelah saya tahu bahwa ternyata pemasok informasi dan pengetahuan pada Mbah Google adalah kita sendiri ini. Betapa hebat sistem silaturahim Mbah Google.
Saya juga suka berkunjung. Keliling ke daerah-daerah. Menimba ilmu. Suka belajar, bertanya, menggali informasi. Tapi, seringkali sejumlah informasi yang saya peroleh pun ternyata sudah dimiliki oleh Mbah Google. Atau Mbah Google membantu saya menelusuri informasi yang lebih mendalam. Betapa kita ini ternyata sangat percaya pada Mbah Google dan suka memberinya banyak informasi. Benarkah ia hanya mesin?
Saya mulai curiga: jangan-jangan saya yang justru mesin. Bergerak hanya jika dimasuki koin. Makin menjadi jika yang masuk ke tubuh saya adalah lembar uang bernilai lebih tinggi. Melanggar prinsip hidup dan merusak sistem saya sendiri pun saya kerjakan. Sekaligus menguasai sendiri apa-apa yang saya punya dan tidak suka membaginya. Tidak lebih tahu dari Mbah Google, tapi saya justru lebih sok tahu -- tapi pelit.
Tentu saja, naif jika saya menganggap tidak ada manusia di balik mesin yang bernama Mbah Google itu. Tentu saja, konyol jika saya menganalisa bahwa manusia-manusia di balik mesin yang bernama Mbah Google bekerja bukan untuk memeroleh upah. Tapi, saya lebih memilih untuk istiqamah membahas tiga pertanyaan di atas. Dan bukan mereka yang dibahas, tapi kesalehan sosial saya sendiri dan Mbah Google.
Saya mendukung gerakan ayo belajar, ayo sekolah, ayo mondok, dan ayo-ayo lain yang berhubungan dengan usaha keras dan cerdas menambah ilmu dan pengetahuan. Dari mana pun, siapa pun, kapan pun, di mana pun, ke mana pun, dan bagaimana pun. Tentu saja, dengan cara yang baik dan benar, serta tidak menyakiti sesama manusia. Kita bukan mesin, kan? Oya, belajar pada Mbah Google juga tidak ada salahnya.
Sesungguhnya, tidak ada yang lebih tahu di antara kita. Yang ada: yang lebih dulu tahu. Hari ini saya belajar dari Sampeyan, hari lain Sampeyan boleh saja belajar pada saya. Tapi, kalau Sampeyan lebih suka belajar pada Mbah Google, ya saya tidak punya hak dan wewenang menyalahkan siapa-siapa tho? Saya yang justru harus mawas diri: mengapa manusia lebih percaya pada mesin? Mengapa, Mbah? []
*Praktisi Tasawuf yang bergiat dalam kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan