Rumah Suku Bugis di Kemujan Karimunjawa “ Jika ingin memetik hasil setahun, maka tanamlah sayuran. Jika ingin menuai hasil 10 tahun, t...
“Jika ingin memetik hasil setahun, maka tanamlah sayuran. Jika ingin menuai hasil 10 tahun, tanamlah buah-buahan. Tapi jika ingin menikmati hasil 100 tahun, maka tanamlah manusia.”
Berangkat dari potongan kalimat bijak tersebut, investigasi Suku Bugis di Karimun ini ditulis.
Taman Nasional Karimunjawa
Ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut oleh SK Menhut No. 123/Kpts-II/1986. Pada tahun 1999, melalui Keputusan Menhut No. 78/Kpts-II/1999, Cagar Alam Karimunjawa dirubah menjadi Taman Nasional Karimunjawa. Kemudian pada tahun 2001, melalui Keputusan Menhut No. 74/Kpts-II/2001, Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan menjadi Kawasan Pelestarian Alam Perairan dengan lokasi seluas 110.117,30 Ha.
Karena tergolong kepulauan, Karimunjawa memiliki berbagai macam jenis flora dan fauna; seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, hutan pantai, dan hutan dataran rendah; jenis fauna yang menghuni diantaranya semisal rusa, biawak, kera ekor panjang. Menurut catatan, fauna akuatik Karimunjawa memiliki 242 jenis ikan hias dan 133 genera akuatik; burung elang laut dada putih, penyu sisik dan penyu hijau, yang termasuk jenis fauna langka ini, juga hidup di Karimunjawa (tepatnya di Pulau Burung dan Pulau Geleyang).
Karimunjawa adalah sebuah kepulauan di wilayah Jepara, Jawa Tengah, yang terdiri dari 27 gugusan pulau, dan lima diantaranya dihuni penduduk (Karimun, Genteng, Nyamuk, Kemujan, dan Parang). Letak Karimunjawa sekitar 45 mil ke barat laut dari kota Jepara. Luas wilayah teritorial Karimunjawa mencapai 107.225 Ha yang terdiri dari 100.105 Ha berupa lautan dan 7.120 Ha adalah daratan. Kepulauan ini beriklim tropis, sangat dipengaruhi angin laut, dan suhu rata-ratanya adalah 26º Celcius hingga 30º Celcius; suhu minimun mencapai 22º Celcius, sedangkan suhu maksimumnya dapat mencapai 34º Celcius.
Karimunjawa dibagi menjadi 3 (tiga) desa, yaitu Desa Karimun, Desa Kemujan, dan Desa Parang. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2012, penghuni pulau Karimunjawa mencapai 10.488 jiwa, yang terdiri dari 5.211 laki-laki dan 5.277 perempuan.
Sejarah Singkat Karimunjawa
Jika yang dimaksud orang pertama yang menginjakkan kaki di Karimunjawa, penulis belum menemukan catatan tentang hal itu. Namun berdasar kabar dari Tiongkok, Karimunjawa disebut dengan ejaan Chi Li Wen. Ia adalah labuhan yang sering dikunjungi setidaknya sekitar tahun 1200-an oleh pelaut-pelaut Tiongkok sebelum menuju pelabuhan di Tu Ping Shu (Tuban) dan ke Gresik. Bahkan catatan Tiongkok itu menyebutkan pada tahun 1289 laksamana Ike Mese membawa berlabuh 10 kapal perang yang berisi 500 prajurit ke daratan Chi Li Wen (Karimunjawa), untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Jawa Timur.
Sunan Nyamplungan datang ke Karimunjawa diperkirakan pada tahun 1550. Dan sudah dapat dipastikan beliau bukanlah generasi awal penduduk Karimunjawa, dikarenakan sebelum Sunan Nyamplungan di Karimun sudah dihuni beberapa bajak laut dan perompak yang berasal (diantaranya) dari Sulawesi. Hingga datang VOC ke Nusantara, dan pada tahun 1815 pemerintahan pertama di Karimunjawa setingkat residen (posthouder) atau pemimpin sipil (Civiel Gezaghebber) dipegang seorang perwira asal Jerman bernama Rudolph von Michalowski.
Karena letaknya yang jauh dari pulau besar seperti Jepara, Sulawesi, dan Kalimantan, pada waktu itu orang-orang menghuni Karimunjawa tidaklah dalam waktu yang lama. Karimunjawa hingga abad ke-17 adalah tempat yang sepi, dan tergolong “tandus”; tidak cukup layak untuk dihuni. Oleh karenanya, generasi yang menghuni Karimunjawa tidaklah selalu bersambung; beberapa orang datang ke Karimunjawa, dan setelah mereka melihat kondisinya tidak membikin betah, mereka pun meninggalkan Karimunjawa. Lantas datang beberapa orang lagi, beberapa waktu mereka menghuni Karimunjawa, kemudian pergi ke tempat lain. Begitu seterusnya, sehingga generasi di Karimunjawa tidak pernah bersambung satu sama lain.
Jika sampai pada tahun 2012 penduduk Karimunjawa mencapai 10.488 jiwa, maka mereka semua adalah generasi baru yang mendatangi Karimunjawa sekitar tahun 1900-an. Dan generasi ini (mayoritas) bukanlah penerus dari generasi abad ke-18 dan abad ke-17. Beberapa peneliti menemukan kuburan-kuburan Islam (yang diperkirakan berasal dari suku Jawa, Bugis, Madura, Buton), kuburan Cina, dan bahkan kuburan Belanda. Umur kuburan-kuburan tersebut sangat beragam. Kuburan Islam diperkirakan yang paling berumur lama, dimulai dari dakwah pertama Sunan Nyamplungan pada tahun 1550. Dalam satu generasi ada beberapa orang yang meninggal, kemudian dikuburkan di Karimunjawa, lantas beberapa waktu kemudian generasi ini meninggalkan Karimunjawa. Untuk umur kuburan Cina, sampai sekarang belum ada temuan yang memastikannya. Sedangkan kuburan Belanda, perkiraan pada sekitar abad ke-17, dan mulai ramai setelah Karimunjawa memiliki pemerintahan administratif pada tahun 1815. Hal unik dari kuburan-kuburan tersebut adalah letaknya yang selalu berada di pinggiran pantai.
Suku Bugis di Kemujan
Di samping Suku Jawa, Madura, Bajo, dan Buton, di Karimunjawa terdapat satu suku yang cukup beruntung masih memiliki memori kolektif tentang sejarahnya di Karimunjawa, yaitu Suku Bugis. Sebagian besar suku Bugis tinggal di Desa Kemujan, seperti di Dukuh Batulawang, Dukuh Legon Gede, dan Dukuh Tlogo. Sementara suku Jawa lebih padat tinggal di Desa Karimun, yaitu Dukuh Legon Lele, Dukuh Nyamplungan, dan Dukuh Mrican.
Bagaimana sejarah pelayaran Suku Bugis hingga sampai ke Karimun?
Pada tahun 1669, Sultan Hasanudin ditaklukkan VOC. Barang-barang Tiongkok pun dimonopoli oleh VOC. Hingga akhirnya VOC menguasai Makassar secara penuh. Dimulai dari peristiwa itu, banyak orang Bugis di sekitarnya meninggalkan kota masing-masing untuk pergi ke tempat lain di Nusantara. Diantara yang meninggalkan tempat kelahirannya ada yang menjadi bajak laut di mana-mana, termasuk di Karimunjawa. Awalnya Sulawesi adalah tempat perdagangan yang didatangi pedagang-pedagang asing dengan memanfaatkan angin monsoon yang berhembus dari Timur Laut ke Selatan pada bulan November-Januari, dan arah sebaliknya antara bulan Juni-Oktober. Jika menurut siklus monsoon, Suku Bugis harus menunggu angin monsoon tenggara melemah, dan angin monsoon timur menguat untuk mengarungi samudra dari Sulawesi Selatan sampai ke Karimunjawa. Dan angin ini berhembus di kisaran bulan Agustus.
Jiwa melaut ini diwariskan ke anak-cucu mereka, hingga pada tahun 1930-an seorang suku Bugis bernama Lato’ Laindra (babat alas Dukuh Batulawang) sampai ke Karimunjawa, disusul Lato’ Garusang (Lato’ Cambang), kemudian Lato’ ali Cacok (Lato’ Janggo’) dari Wajo, Maniam Pajo, Sulawesi Selatan, sekitar tahun 1932-1933.
Generasi Bugis yang sudah menetap di Karimun ini berprofesi sebagai nelayan, dan awal tahun 1987 mencoba profesi sebagai petani rumput laut yang kian ramai pada tahun 2003. Hutan-hutan di sekitar Batulawang pun disulap menjadi sawah dan perkebunan oleh Laindra, Garusang, dan Ali Cacok. Budaya Bugis yang mereka bawa pun diturunkan anak-cucu Batulawang sampai sekarang, semisal tenun sarung Bugis yang menjadi khas masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan.
Pada generasi Ali Cacok, pada tahun 1930-an Suku Bugis menyebar dan bertempat tinggal hingga Dukuh Telaga. Untuk melihat perkembangan penduduk Suku Bugis, sebagai catatan: sampai akhir tahun 1960 Dukuh Batulawang hanya terdiri dari 40 rumah panggung (identitas khas Suku Bugis yang masih terjaga hingga sekarang) dan pada tahun 2012 seluruh penduduk Desa Kemujan mencapai 4.015 jiwa (terdiri dari Suku Bugis dan Suku Madura—yang mulai memadati Kemujan pada tahun 1963).
Tradisi Lomban (diisi tarian pencak silat dan sabung ayam) sering diadakan setelah 7 haris Idul Fitri sempat terjaga sampai ia diganti tradisi Slamatan yang menyajikan kudapan-kudapan khas Bugis seperti Buras. Tradisi lain yang masih dapat dijumpai adalah Mamaulu; menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan membawa ketan dan telur hias ke masjid. Telur tersebut diwarnai secantik mungkin dan ditusuk sebatang lidi untuk dibagikan kepada anak-anak.
Epilog
Di awal telah penulis sampaikan bahwa penduduk Karimunjawa bukanlah generasi yang secara kontinyu meneruskan generasi-generasi sebelumnya; ada sekat yang memutuskan garis generasi tersebut, tidak terkecuali generasi Suku Bugis yang ditandai oleh kedatangan Laindra. Belum ada catatan generasi Suku Bugis sebelum Laindra.
Karimunjawa adalah kepulauan yang tandus pada waktu itu, dan tidak pernah dihuni suatu kelompok dalam waktu yang lama. Generasi Laindra adalah generasi Suku Bugis yang “membongkar” sistem generasi tersebut. Generasi sebelum Laindra barangkali memetik hasil setahun, sehingga hanya menanam sayuran. Kemudian ada generasi yang ingin menuai hasil 10 tahun, maka mereka menanam buah-buahan. Bagi generasi Laindra, ia ingin menikmati hasil selama 100 tahun, maka ia menanam manusia. Terbukti dari penduduk Suku Bugis di Kemujan adalah dari garis keturunan Laindra yang masih tinggal di Kemujan, bahkan sampai sekarang.
“Jika ingin memetik hasil setahun, maka tanamlah sayuran. Jika ingin menuai hasil 10 tahun, tanamlah buah-buahan. Tapi jika ingin menikmati hasil 100 tahun, maka tanamlah manusia.”