Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, Bupati Jepara, Ayahanda RA. Kartini (enam dari kanan/sumber: KITLV) Jepara di Akhir Abad ke-19 ...
Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, Bupati Jepara, Ayahanda RA. Kartini (enam dari kanan/sumber: KITLV) |
Jepara di Akhir Abad ke-19
Sekitar tahun 1830, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch memproklamirkan Cultuurstelsel (secara harfiah disebut Sistem Kultivasi atau Tanam Paksa) dimana setiap desa diwajibkan menyerahkan 20% (seperlima) tanahnya “secara paksa” kepada Belanda untuk ditanami komoditi Kopi, Karet, Coklat, Nila (tarum), dan Tebu. Selama satu dekade diterapkannya sistem ini Kerajaan Belanda kian makmur (sementara di nusantara kian paceklik). Pada penghujung tahun 1839, Johannes van den Bosch, yang dianggap telah memakmurkan negeri Belanda dengan sistem Kultivasi, dianugerahi gelar Graaf pada namanya menjadi Graaf Johannes van den Bosch. Sistem ini bertahan 40 tahun, dan kelar pada tahun 1870 tergerus oleh penerapan liberalisasi ekonomi di Eropa diganti UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870.
Jepara adalah kota yang bernasib sial; seharusnya tanah yang “dipaksa” diserahkan kepada Belanda hanya 20% (seperlima) saja, namun dari beberapa data ditemukan bahwa sepertiga tanah dari penduduk Jepara harus diserahkan kepada Belanda untuk ditanami komoditi ekspor, serta pekerja tanam paksa di Jepara diwajibkan bekerja selama 120 hari dalam setahun, tidak seperti kota lainnya yang hanya 75 hari dalam setahun. Dalam masa sulit seperti ini, tepatnya pada 26 April 1845, di Kadipaten Kudus lahir seorang anak yang kelak akan meneruskan kepemimpinan ayahnya di Jepara (Pramoedja Ananta Toer bilang hidungnya tak semancung bapaknya) dengan nama Rahadian Samingun.
Rahadian Samingun bin Tjondronegoro IV
Rahadian (Raden) Samingun adalah keturunan ke-13 dari Bhre Kertabumi (Brawijaya V), pemimpin terakhir Kerajaan Majapahit sebelum direbut Kesultanan Demak. Raden muda ini lahir pada 26 April 1845 sebagai anak ketiga dari Gusti Raden Mas Adipati Haryo Hadiningrat (Tjondronegoro IV), penerus Trah Tjondronegoro paling gemilang di masanya dan menjadi Bupati Demak pada tahun 1850 (sebelumnya pada tahun 1835 menjabat sebagai Bupati Kudus dan memimpin Residen Jepara).
Pada masa diterapkannya Cultuurstelsel oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch, Demak dan Grobogan adalah tempat yang paling paceklik dilanda kelaparan. Tanam paksa yang tidak menguntungkan, serta tanah yang dirampas oleh Belanda membuat mereka memutar otak. Tjondronegoro IV adalah Bupati Kudus yang dipilih untuk menyelesaikan ambang batas kelaparan di dua kota tersebut. Gubernemen Belanda kemudian memindahkan Tjondronegoro IV menjadi Bupati Demak pada 1850 setelah dirasa cukup memimpin Kudus dan Jepara. Hanya butuh 2 tahun bagi Tjondronegoro IV untuk menstabilkan kondisi masyarakat yang lapar itu. Dan atas keberhasilannya menghentikan paceklik di Demak dan Grobogan, tahun 1852 pemerintah Belanda menyematkan gelar “Pangeran” kepadanya.
Sewaktu ayahnya mulai bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Tjondronegoro IV, Rahadian Samingun masih berumur 7 tahun. Rahadian Samingun memiliki 5 (lima) saudara. Kedua kakaknya bernama Rahadian Prawoto (kelak bergelar Tjondronegoro V dan menjabat Bupati Brebes), dan Rahadian Purboningrat (kelak menjabat Bupati Semarang). Adik Rahadian Samingun yang paling dikenal adalah Rahadian Hadiningrat, yang kelak menggantikan ayahnya menjabat sebagai Bupati Demak. Jika diperbandingkan, Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Tjondronegoro IV adalah satu-satunya pemimpin yang memiliki empat anak yang menjadi bupati.
Tjondronegoro IV dikenal sebagai ningrat yang melek budaya dan sadar bahwa anak-anaknya harus mengenyam pendidikan. Ia tak segan mendatangkan seorang guru berpangkat gubernur dari Belanda untuk jadi guru privat anak-anaknya. Tahun 1861, seorang Belanda bernama CS. Van Kesteren dipanggil Tjondronegoro khusus untuk mendidik anak-anaknya. Hal ini sangat jarang terjadi, dimana seorang ningrat memberikan perhatian lebih pada pendidikan Eropa, di tengah derasnya adat feudal Jawa pada waktu itu. Dan dari pengajaran yang diberikan ini, nusantara hanya mengenal 4 (bupati) di Jawa yang mampu menulis dan berbahasa Belanda, yaitu: Pangeran Haryo Hadiningrat (Bupati Demak), Raden Mas Samingun (Bupati Jepara), Raden Mas Koesoemo Oetoyo (Bupati Jepara), dan Raden Mas Djojoadiningrat (Bupati Serang). Dua nama yang disebutkan di awal adalah anak dari Tjondronegoro IV.
Raden Samingun ke Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat
Gelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) adalah strata pelaksana pemerintah negara di Kadipaten. Jika yang dimaksud adalah lingkup Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, maka gelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) adalah Pepatih Dalem atau setingkat Perdana Menteri. Atas restu Sultan, dan jika memang memiliki kontribusi lebih kepada keraton, gelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) dinaikkan pangkatnya bergelar Kanjeng Pangeran Arya (KPA) atau Kanjeng Pangeran (KA). Sedangkan “Mas” dalam gelar Kanjeng Raden Adipati (KRA) adalah status telah memiliki istri.
Raden Samingun kemudian menjadi pemimpin Kawedanan di Desa Mayong dan memperistri seorang putri ulama pantai Telukawur bernama Ngasirah binti Kiai Modirono pada tahun 1872. Mungkin karena telah menjabat sebagai wedana, Samingun lantas mengubah namanya menjadi Sosroningrat dengan gelar Raden Mas. Beliau adalah putra dari Tjondronegoro IV yang memiliki reputasi baik di mata Gubernemen Belanda. Kelak, setelah Kanjeng Raden Tumenggung Tjitro Wikromo meninggal, Raden Mas Sosroningrat akan diangkat sebagai Bupati Jepara.
Untuk memenuhi jabatan Bupati di Jepara, Raden Mas Sosroningrat diharuskan memiliki Garwo Padmi (permaisuri) dari trah bangsawan. Ngasirah hanya buruh gula dan seorang anak pemuka agama. Adat istiadat yang seperti itu membuat Raden Mas Sosroningrat menikahi Moerjam pada tahun 1875 yang setelah sah menjadi permaisuri bergelar Gusti Raden Ayu, dan Ngasirah (Garwo Ampil) bergelar Mas Ajeng.
Pada tahun 1881 Raden Mas Sosroningrat dilantik menjadi Bupati Jepara dengan gelar Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat. Di tahun yang sama, tepatnya Selasa Pahing 1 Maret 1881 Raden Ajeng Kardinah lahir. Ia adalah anak pertama Raden Mas Adipati Sosroningrat yang lahir di Kadipaten, karena kakak-kakaknya Kardinah lahir di Kawedanan Mayong. Saat Raden Ajeng Kardinah lahir (1881), Raden Ajeng Kartini (lahir 1879) menginjak usia 2 tahun. Setahun sebelumnya kelahiran Raden Ajeng Kardinah, bayi perempuan dari Garwa Padmi lahir dengan nama Raden Ajeng Roekmini. Kelak, tiga Raden Ajeng ini dikenal sejarah dengan “Tiga Bersaudara” yang tidak terpisah; satu sama lain meneruskan cita-cita saat dirumuskan mereka saat dipingit bersama.
Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat berwatak adil kepada anak-anaknya. Bahkan untuk anak-anak perempuannya pun (yang usianya tak terlampau jauh) Bupati Jepara ini membuatkan busana kembar. Riwayat ayahnya yang melek pendidikan, ia terapkan pula kepada anak-anaknya. Setelah anak-anaknya cukup dewasa, mereka disekolahkan di Europese Lagere School (Sekolah Dasar Belanda) di Jepara. Dan tidak cukup dengan itu, di tiap siang pukul dua hingga sore jam 4 mereka belajar bahasa dari guru yang didatangkat secara privat oleh ayahnya, kursus menyulam dan menjahit secara selang-seling hari, dan mengaji Al-Quran dengan Pak Danu, murid dari kakek mereka, Kiai Modirono. Atas wasiat kakek mereka pula, Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat mendatangkan guru privat Bahasa Belanda dan Bahasa Perancis kepada anak-anaknya.
Karena sakit yang kian menggerogoti tubuh, pada tahun 1905 Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat mangkat ke hadirat-Nya. Satu hal yang diingat putra-putrinya, bahwa sebelum meninggal sang ayah berpesan: “Tanpa Pengetahuan, kalian tidak akan merasa bahagia, dan dinasti kita akan semakin mundur.” Pesan ini selalu diingat oleh anak-anaknya dan membawa RA. Kartini sebagai pahlawan nasional, RA. Kardinah mendirikan rumah sakit, RM. Panji Sosrokartono dikenal sebagai manusia unik yang menguasai 25 bahasa manusia, serta RM. Sosroboesono kelak memimpin Ngawi sebagai Bupati.
Setelah meninggal, jabatan Bupati Jepara diisi Raden Mas Tumenggung Oetoyo yang masih baru berumur 34 tahun. Namanya adalah Oetoyo, dan setelah menjabat sebagai Bupati Jepara namanya ditambahi “Koesoemo” dengan gelar Raden Mas Adipati Koesoemo Oetoyo.